Selasa, 05 Juni 2012

Bagai Mawar Di Belah Edelweiss


Jika Einstein berambut hitam panjang
Rumus itu tetap ada
Tak sesulit merubah kenyataan
Tak seperti membacamu

Senin jam satu siang. Dengan sudut tiga puluh lima derajat. Dengan duduk di barisan ketiga dan kamu selalu di deretan yang sama dengan ku. Di bangku yang sama. Kamu selalu duduk di situ. Dan aku di sini. Selalu menatapmu. Sambil sesekali melihat kearah penjaga karena tempat kalian menetap selalu terdepan.

Soal kali ini sulit. Aku tahu. Lihat saja papan tulis putih – yang lebih kearah krem muda- yang selalu penuh dengan lambang integral itu. Yah, aku tahu. Lambang integral tak pernah absen di sana. Sama seperti lambang alpha, omega, dan lambang Fisika lainnya. Dan entah mengapa Sang guru selalu menuliskan lambang itu di sana. Tak pernah bosan. Mereka lebih mirip pelukis dengan gaya abstrak dibandingkan dengan guru fisika.

Aku tak begitu peduli dengan apa yang mereka tuliskan di sana. Mereka selalu membicarakan hal yang abstrak. Dan dunia ini terlalu sungkan untuk menerima hal abstrak. Sama seperti perasaan ini. Terlalu abstrak hingga tak bisa di ungkapkan. Jarak satu bangku ini lebih cenderung kearah paradoks. Dan aku adalah pertentangan dari paradoks.

Yang aku pedulikan sekarang bukan integral itu, bukan pula penjaga itu, dan tentu saja bukan jarak-satu-bangku itu. Masalah ini abstrak, kawan. Yang kulihat dari kacamata ku ini hanyalah dirimu. Lebih jelasnya punggungmu yang selalu bisu. Dirimu yang selalu melihat kearah papan tulis abstrak itu. Kemudian melihat secercah kertas yang merupakan kloning nyata dari lukisan di papan tulis itu. Kau goreskan hi-tech hitam-mu ke arah binder itu dengan rupawan. Menarikan jari jari kecilmu dengan gemulai.

Aku tak begitu tahu apa yang kau pikirkan. Tapi dengan sorot matamu yang penuh perlindungan itu menyiratkan bahwa kamu mengerti apa yang dimaksud dengan lukisan abstrak di depan. Seakan-akan kau adalah Picasso yang mencoba melukis gambar pemandangan. Tak begitu sulit.

Andaikan lukisan abstrak itu bisa lebih rapi. Andaikan jarak satu bangku ini bisa dilenyapkan melalui black hole. Andaikan sorot matamu itu bisa kubaca. Aku tak butuh lagi kacamata ini.

Kau tampilkan senyum sama kepada tiap orang
Kau tebar benih dengan itu
Walau tak sama
Di hatiku tumbuh mawar

Senin jam dua belas lewat empat puluh lima menit. Kali ini aku tidak sedang duduk di bangku-baris-ketiga itu. Papan tulis juga masih putih. Sang pelukis abstrak belum memulai khutbahnya. Kamu? Kamu bahkan belum datang.

Maka disinilah aku berdiri dipagar pembatas yang berada di tingkat kedua dari gedung ini. Di depan pintu kelas kita. Kelas dimana aku selalu melihatmu dari sudut tiga puluh lima derajat.

Senin adalah hari tersibuk di sekolah ini, lihat saja parkiran di ujung sana. Tak seramai hari biasanya. Ratusan sepeda motor berbaris rapi sepanjang parkiran. Membentuk garis lurus sepanjang mata memandang.

Sama halnya dengan parkiran. Koridor-koridor sepanjang lorong juga ramai. Banyak para siswa datang bergerombol. Kemudian berjalan beriringan sampai ke kelas. Ada juga yang berbaris dengan rapi karena koridor ini sempit. Tak banyak ruang yang tersisa ketika gerombolan siswa lain sedang mengobrol di koridor ini.

Dari celah yang disisakan dari gerombolan itu, aku menangkap dirimu yang sedang berjalan tergesa-gesa melewati mereka. Langkahmu begitu yakin, tak tergesa-gesa. Tak lupa goresan yang kau lukiskan melalui bibirmu itu. Lukisan berupa senyum.

Yah, kau selalu tersenyum kepada tiap orang yang kau kenal. Tak peduli apakah suasana hatimu sedang bimbang, galau, ataupun sedih. Goresan itu yang selalu menghiasi kanvas wajahmu. Tak heran, banyak orang yang selalu mengartikan senyum-mu dengan makna yang berbeda.

Di sinilah aku, berdiri di hadapanmu. Dan seperti yang sudah kutuliskan di paragraph sebelumnya. Dan inilah hal paling madu yang aku tuliskan.

Kau tersenyum ke arahku.

Senyum paling indah yang pernah kulihat. Senyum yang bisa membuatku tidak konsen dengan lukisan abstrak ala integral. Senyum yang bisa membuat jarak-satu-bangku menjadi paradoks. Senyum yang membuat perasaan ini semakin abstrak

Senyum Mawar itu.

Kau tahu apa yang lebih kecil dari limit mendekati nol?
Pembicaraan kita

“hey,kamu udah belum?”

Senin jam dua belas lewat lima puluh menit. Kau mengatakan sesuatu padaku. Tak lupa senyum manis madu itu tertera di wajahmu.

Aku hanya bisa terpaku saat ini. Aku merasakan kata-katamu bagaikan dilatasi waktu menuju ruang tak terhingga. Membawaku pergi jauh jutaan tahun cahaya. Dan saat aku kembali ke bumi. Aku masih terbeku dalam usia enam belas tahun. Berdiri di lantai dua koridor. Memandangmu.

Dan aku hanya bisa menggeleng.

Lebih tepatnya, menggeleng dungu.

Kau pun tertawa melihat diriku yang tak ubah bagaikan hiasan anjing pada dashboard mobil. Selalu menggeleng.

Hitunganku tak pernah meleset. Dan ini adalah percakapan kedua kita. Di tempat yang sama. Dengan kata-kata yang sama. Dan tentu saja. Jawaban-menggeleng-ku yang sama.

Kini penjaga itu datang. Aku pun masuk ke kelas itu. Kelas tiga-puluh-lima derajat.

Ku kira ini mawar
Tidak!
Salah!
Ini adalah edelweiss

Untuk Peserta No Ujian 
2A00085

2 komentar:

  1. Aku tak pernah sedikit pun memandang lain dirimu..2A00084
    Bagaikan hiasan anjing pada dashboard mobil. Selalu menggeleng, Apa ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan terlalu mendramatisir, aku lagi ga main sinetron :).
      Apa kabar blog mu..? Lama tak berkunjung. Penuh sarang laba-laba disana sini :( terlalu lama ditinggalkan.

      Hapus