Minggu, 10 Juni 2012

Aku, Tidak Seperti Mantanmu

Nita menatap jamnya tangannya berkali-kali. Detak dari jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya sejak tadi terus menerus menemani kesendiriannya. Wajahnya cemas, bibirnya terkunci rapat, jemari tangan kirinya mengisi celah-celah kecil jemari tangan  kanannya. Sesekali ia menyilangkan tangan di dadanya, ia merasa kedinginan. Nita menatap kembali jarum jam, setelah itu ia memperhatikan awan yang semakin gelap dan rintik hujan yang semakin deras, wajahnya cemasnya terlihat jelas.

“Aris belum juga pulang.” Ucapnya perlahan dalam hati.

Disentuhnya plastik berisi dua bungkus nasi goreng yang ia beli disebuah restaurant mungil diujung jalan, sudah dingin, tak lagi hangat seperti awal ditempat kost Aris. Dua jam sudah ia menunggu, sementara Aris tak kunjung pulang. Aris juga tak membalas pesan singkat yang dikirim Nita untuknya. Hujan semakin deras, Nita semakin cemas. Nita tetap saja melihat layar handphonenya, meskipun tak ada satu pesan pun dari Aris.

Terdengar desah suara motor dari luar pagar, seorang turun dari kendaraan itu. Pria itu berlari-lari kecil lalu  membuka pagar, kini pria itu berdiri tepat didepan Nita. Nita tersenyum lega.

“Kamu baru pulang? Sama siapa?  Kehujanan ya?” tanya Nita, masih dibalut wajah cemasnya.

“Kamu ngapain disini sih!” ujar Aris setengah membentak.

“Aku mau bawain kamu nasi goreng. Kemarin, kamu sms aku katanya lagi pengen nasi goreng diujung jalan itu, jadi aku beliin aja. Dimakan ya?” jelas Nita dengan sipu senyum kecil dibibirnya.

Aris mengalihkan pandangannya, ia tak mau menatap Nita “Cewe bego! Pulang lo! Udah malem! Hujan juga kan!” bentak nya dengan nada tinggi.

Nita hanya menatap sosok Aris dengan wajah bingung, bentakan keras Aris membuatnya mundur satu langkah dari posisi ia berdiri diawal.

“Tadi kamu pulang sama siapa?” tanya Nita menahan rasa sedihnya.

“Sama mantanku kenapa? Eh, aku heran deh sama kamu, seneng banget nungguin aku, kayak mantanku dong, orangnya gak suka nunggu, kecuali kalau diminta!” jawab Aris enteng, dengan wajah seakan-akan tidak menyakiti hati Nita.

“Oh..” ungkap Nita menahan amarahnya. “Syukurlah kalo kamu bisa pulang sama dia, jadi kamu juga enggak terlalu kehujanan kan. Ini nasi gorengnya, kamu makan ya. Aku mau pulang dulu.”

“Bawa aja nasi gorengnya, aku tadi udah makan kok sama dia.” Tungkas Aris dengan nada enteng.

“Enggak usah. Buat kamu aja. Aku pulang ya. Nanti langsung mandi, jangan lupa keramas ya habis itu minum teh anget ya supaya kamu enggak kedingingan.” tegas Nita sambil menatap wajah Aris dengan penuh perhatian.
 

Aris tetep buang muka, sesekali Aris menatap Nita. Pandangannya mencuru-curi celah untuk menatap Nita. Tapi tetap saja dari raut wajahterlihat jelas  bahwa Aris tidak peduli dengan Nita. Aris tak peduli dan tak mau tahu rasa khawatir yang Nita simpan dalam-dalam. Padahal rasa khawatir adalah wujud dari rasa cinta dan perhatian. Itulah yang dirasakan Aris. Ia pulang dengan rasa hampa. Ia pulang dengan gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata.

***

Nita terbangun dari tempat duduknya, ia berlari kecil mengejar sosok Aris, “kamu kenapa akhir-akhir ini cuek banget?”

Aris mengarahkan pandangannya pada Nita “Emang kenapa? Kamu kan cuma pacarku, bukan istriku. Aku salah kalau cuekin kamu?”

Nita menghentikan langkahnnya, ia tertunduk setelah mendengar ucapan enteng yang terlontar begitu saja dari bibir Aris, “Kapan kamu menghargai aku sebagai sosok yang penting dalam hidupmu?”

“Kapan? Kenapa bertanya? Bukannya aku selalu menghargai kamu?” tanya Aris dengan nada keheranan.

“Padahal, apa yang tidak kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil dimataku. Aku selalu menghargai kamu, menghormati posisimu, dan masih memperlakuakan mu dengan baik meskipun kadang kau tak menghargai aku.” Jelas Nita dengan matanya yang mulai berair.

“Wanita bodoh! Jangan jadikan air matamu sebagai senjata pemungkasmu! Kamu cengeng, kamu berbeda dengan mantanku. Dia jauh lebih kuat daripada kamu!”

“Ya... aku memang tidak seperti mantanmu. Aku memang tak secantik dan tak setegar dia. Tapi, dia hanya masa lalumu, sedangkan aku adalah masa kini dan mungkin akan kau bawa kemasa depanmu.!” Nita menatap Aris dengan tatapan serius. Tak pernah Aris melihat Nita sekeras dan seberani itu.

“Kamu memang tidak seperti mantanku.” ucap Aris singkat.

“Aku memang tidak seperti mantanmu. Aku adalah aku, yang akan luar biasa dengan jalan dan pilihanku sendiri. Kenyataannya memang kamu tidak bisa melupakan mantanmu dan masa lalumu.” ujar Nita memincingkan mata, tatapannya tajam menatap Aris.

“Bukan urusanmu!”

“Dan, aku sangat kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu jatuh cinta kepadaku damn melupakan mantanmu?”

Aris tak tega menatap Nita, naluri lelakinya keluar, selalu tak tega menatap wanita yang sedang menangis, “Sudahlah..." ucap Aris perlahan. “Jangan menangis.”

“Kita akhiri saja semua kalo memang kamu masih berhenti pada masa lalumu. Kita akhiri saja semua memang kau lebih merindukan masa lalumu. Kita cukupkan sampai disini, kalau masa lalumu lebih mampu untuk membahagiakanmu.”

“Maksudku, bukan seperti itu, Sayang.” Dengan nada sok manja, Aris menarik lengan Nita. “Maaf ya?”

“Percuma ada kata  maaf jika kau tak mau berubah. Percuma ada kata maaf jika kau terus mengulang kesalahan yang sama. Kembalilah pada masa lalumu, aku juga tak membutuhkan orang sepertimu dimasa depanku!”  cetus Nita, menghempaskan lengan Aris dari lengannya.

***

Jam waker melakukan tugasnya dengan baik, celotehnya yang berisik membangunkan Aris yang masih saja terantuk diujung kantuk. Dimatikannya, jam waker itu, ditariknya lagi selimut yang sejak tadi malam menghangatkan tubuhnya. Matanya menatap jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Gerakan reflek, ia menatap handphone, tak ada pesan singkat dari Nita. Tak ada ketukan pintu dari luar. Tak ada lagi wanita yang menyiapkan bubur ayam sebagai sarapan dipagi harinya. Tak ada lagi sosok wanita yang menyiapkan teh hangat didekat tempat tidurnya.
 
Aris menghela nafas. Ia menarik selimut menghangatkan dadanya. Tubuhnya masih mengigil, demamnya tak juga turun. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari tadi malam, hingga dinginnya masih menusuk tulang. Hanya ada detak jam dinding yang menemaninya perlahan kala itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar