Untuk mengikuti #30HariMenulisSuratCinta yang dilaksanakan @poscinta :)
Sebuah acara dinner yang begitu sederhana, kau tawarkan padaku. Di antara malam dan suara deru jalanan.
Sebuah acara dinner yang begitu sederhana, kau tawarkan padaku. Di antara malam dan suara deru jalanan.
Dear kamu,
Aku
tulis surat ini untukmu. Ku harap kau baca. Kelak, surat ini akan
menjadi memori tersendiri bagi kita di saat tua nanti. Ketika rambutku
mulai memutih, ketika gigiku sudah mulai tanggal dan jarang, ketika
kulitku mulai berkeriput, bahkan ketika kita sudah tak sekuat hari ini
lagi. Anggap saja, ini dokumentasi perjalanan hidup kita, untuk masa
depan.
Hari itu, seperti biasa, kau mengirimkan sebuah pesan singkat. Mendarat tepat setelah aku menyelesaikan sholat asharku.
From: Adjie S.
Assalamualaikum. Sedang sibukkah?
Kau
harus tahu, saat aku membaca pesan singkatmu, ada desir yang diam-diam
mengalir. Perlahan, rona itu pun kembali hadir. Namun, segera kutepis
rasa itu. Ya, rasanya aku tak pantas berharap sesuatu yang lebih
kepadamu. Apalagi menyangkut hati.
To: Adjie S.
Walaikumsalam Kang. Alhamdulillah sedang tidak ada kerjaan, ada apa ya?
Begitu balasku padamu, masih ingat? Tenang, kalau kau lupa, sudah kutuliskan pada lembaran putih ini. Goresan memori kita.
Aku
segera bebenah segala perangkat belajar yang baru saja kupakai. Di usia
yang tidak lagi muda ini, rasanya aku semakin sadar, bahwa
pengetahuanku semakin sedikit. Tidak salah bukan, kalau aku terus
belajar? Iya, sama seperti kamu, yang begitu rajin membaca buku.
Masih
ingatkah kamu? Di perpustakaan itu kita duduk. Berbeda meja,
bersebelahan. Hanya dibatasi oleh tumpukan buku, seolah menjadi tembok
antara kita. Aku masih ingat raut wajahmu saat berdiri, menatap heran
atas sesuatu yang terjadi pada laptopmu. Dan, tak lama, senyum
mengembang indah dari wajahmu. Ah ya, kau benar-benar ciptaan-Nya yang
paling indah :”)
Tapi segera kutepis rasa yang
makin berkecamuk itu. Aku bukan siapa-siapa kamu. Kenal pun tidak.
Hingga akhirnya, laptopku pun berakhir sama denganmu…
Di saat itulah, perkenalan pertama kita…
From: Adjie S.
Bisa temani aku makan malam? Sebentar saja. Ada yang harus aku bicarakan..
Is it a date?
Stop!
Itu yang tiba-tiba terlintas pada benakku. Ah ya, kupu-kupu dalam
perutku ini mulai bekerja. Berterbangan tak tentu arah ke setiap penjuru
ruang. Tapi, aku pun harus mempertimbangkan logika disini. Hati tak
boleh sepenuhnya bekerja.
Sebab aku bukan siapa-siapa kamu. Rasa ini, hendaknya ku tahan, hingga waktu yang tepat…
To: Adjie S.
Makan malam? Dimana? Sebaiknya aku pamit dulu kepada ibu..
Hey
kamu, kamu juga harus tahu betapa ribetnya aku saat itu. Memilih-milih
baju, memilih-milih outfit yang pas. Ah, tapi lagi-lagi….. kutepis
perasaanku. Aku tak boleh ‘semurah’ ini. Buat apa memakai baju bagus,
toh kalau kamu pun ternyata tertarik padaku, bukan dilihat dari bajuku
kan? (Hayoooo ngaku ya nanti.. :p)
From: Adjie S.
Di tempat biasa. Kujemput di rumahmu, 15 menit lagi..
Baru
saja aku terpikir untuk memintamu menjemputku, namun aku bukan
siapa-siapa kamu. Bukankah aku tidak berhak meminta? Isi pikiranmu hari
ini, (sepertinya) sama dengan isi pikiranku..
Hey, tapi darimana kau tahu alamat rumahku?
Dan,
tak lama, dengan isi kepala yang masih bertanya-tanya, aku membuka
pintu. Melihat kau datang ke rumahku. Menjemputku. Pamit kepada ibu.
Untuk pertama kalinya…
Eh, kita belum pernah seperti ini bukan?
Kamu
pun melaju, bersama dengan mobil yang kamu bawa. Aku hanya bisa duduk
di bangku depan. Sembari menyembunyikan desir yang mengalir, kupu-kupu
yang berterbangan, rona merah yang semakin terlihat jelas, dan getar
gemetar jari-jariku. Ah, aku malu :”>
Kamu
membawaku ke sebuah tempat makan sederhana favoritku: sate keroncong.
Memesan seporsi sate kambing bumbu kecap, seporsi tongseng, setengah
porsi nasi untukku dan satu porsi nasi untukmu, dan dua gelas jeruk
hangat. Diiringi alunan musik keroncong era tahun 60-an. Dan kamu pun
memulai pembicaraan…
“Arina…”
“Ya?”
“Kita
sudah saling mengenal selama sepuluh bulan terakhir bukan? Sedikit
sekali ya kita berbincang. Eh, atau bahkan sebenarnya banyak ya? Aku
tidak begitu menghitung dengan jelas. Di perpustakaan pun kita tidak
selalu bertemu bukan? Tetapi, aku selalu merindukan hadirmu di
perpustakaan itu. Memintamu untuk menjelaskan padaku beberapa ilmu yang
baru saja kau baca. Mengajarkanku beberapa hal yang ternyata ada yang
tidak kudapatkan selama mengecap pendidikan disana. Merindukan setiap
senyum yang mengembang di wajahmu. Entahlah. Aku belum pernah merasakan
seperti ini sebelumnya.”
Bagiku bukan
sepuluh. Bukan sepuluh bulan. Aku sudah mengamatimu sejak lama. Iya,
tapi itu aku, bukan kamu. Aku masih menahan semuanya, hingga hari ini,
di depanmu.
Batinku bergejolak. Bibirku masih terdiam. Sesekali bergerak, berusaha membalas ucapanmu. Namun, rasanya………. kelu.
“Aku
tak pernah seperti ini sebelumnya. Selama sepuluh bulan terakhir merasa
uring-uringan. Merasa bahwa….. yah, ini memang sudah waktuku. Usiaku
sendiri sudah menginjak kepala dua, pertengahan, menuju kepala tiga.”
Panas. Aku merasa suasana di sekelilingku mulai memanas.
“Maka, kali ini aku…”
Suaramu
terhenti. Aku hanya bisa menunduk. Rasa yang kutahan selama ini agaknya
sebentar lagi akan meledak. Meledak dan menghancurkan hatiku. Ah ya,
kamu harus tahu, saat itu aku merasakan sakit yang teramat sangat. Sakit
karena menahan perasaanku sendiri :”(
“…aku
ingin kamu menjadi pendamping hidupku, membangun mahligai indah yang
selama ini -mungkin- kau idam-idamkan, menerima dan memelihara segala
rasa yang -sepertinya- sedang kau tahan sekarang, ya kan? Bisa?”
JEDERRRR!!!
Mungkin
seperti itu bunyi yang ada di hatiku. Ah ya, mungkin kau diam-diam
mendengarnya ya? Mendengar jeritan hatiku yang menahan segala rasa ini
untuk tetap diam hingga waktunya tiba. Aku berpikir keras. Aku tak bisa
menjawab pertanyaanmu saat itu juga. Aku takut ini hanyalah sebuah
keterburu-buruan. Aku takut….
“Kamu…… melamar aku?”
“Semacam seperti itu. Hmm, atau, ya memang itu…” jawabmu.
Namun
tak kujawab. Tak lama, beragam menu yang dipesan pun sudah datang.
Alhamdulillah :”) Kau harus tahu, betapa lega perasaanku saat bapak tua
itu membawakan pesanan makanan kita. Bukan apa-apa, Tuhan memang sedang
memberikan waktu kepadaku untuk berpikir. Hingga akhirnya kau
mengantarkanku sampai depan rumah, belum juga kujawab permintaanmu itu.
Hahaha bersabarlah, sehabis aku bebenah diri, sholat istikharah, dan
berbicara dengan ibu, akan kukabarkan secepatnya kok kepadamu :p
Hingga
detik ini, saat aku menulis surat dokumentasi memori kita, aku masih
belum menjawab pertanyaanmu. Kau tahu apa jawabanku? ;)
To: Adjie S.
Assalamualaikum
Kang. Besok jemput aku, bisa? Menjemputku, untuk merangkai masa depan
bersamamu. Ajak orangtuamu ya, jangan lupa.. :)
Klik! Sent.
Iya, ini jawabanku: jemput aku, bisa?
Senin, 31 Januari 2012