Rabu, 27 Juni 2012

2 hari 1 malam (menuju senja)

Tuhan punya segenggam rencana untuk mempertemukan kita, bermula dari segelas air mineral dingin dan Virgin Kahlua di pojok kedai kopi di bilangan Progo Bandung. Entah magnet apa yang menarikku masuk ke dalamnya dan mengirimmu pesan singkat :


‘Mari bertemu’

Di siang dimana matahari terlelap terselimuti awan kelabu dan gerimis yang menunggu untuk menggemericik, kita menggelar dialog yang ringan. Membicarakan apa saja diantara kepulan asap nikotin dan peluh es yang mengembun pada gelas kaca. Kau bilang pernah menungguku hingga kantuk kau lawan dan kesepian kau akrabi namun, aku tak kunjung datang memberi kabar. Lalu, sebaris kata maaf ku tuliskan di jejaring sosial yang kau baca namun, tak mau kau balas. Maaf.

Pernah pula di seperempat malam ketika Tuhan duduk dipinggir langit sambil memainkan lagu alam dan kadar alkohol mengambil alih kemudi otakku yang semerta mengirim sinyal ke jemariku untuk mengetik sebuah pesan singkat dan Tuhan dengan sedikit campur tangannya yang menjetikkan namamu di display layar handphoneku, kau pun menjawab dengan gamang. Saat itu mataku dipenuhi air, aku lelah menguras hatiku yang banjir air mata. kau bilang jika saat itu kau ada di kota yang sama denganku, kau akan menemuiku dan membantuku menguras air asin yang sudah tidak terbendung di kelopak mataku. tapi kau tak datang, kau jauh. terlalu jauh.

Hutang sudah terlunasi semua.Pertemuan di sabtu siang saat adzan menggema di kubah langit biru sudah cukup mengobati pertemuan yang 2 kali tergagalkan keadaan.

2 hari 1 malam, banyak yang kita perbincangkan. Terlalu banyak hingga kita muntah tawa dan kata yang merubah atmosfer pekat menjadi gradasi jingga berkilau. saat itu pun hujan. Kau tidak tertidur saat aku sudah terlelap mengatupkan kelopak mataku bukan? yang aku ingat, kamu memelukku. Dan terbangun disampingmu yang tersenyum sambil bilang “gue ga bisa tidur, kenapa ya?”

Matahari tengah menggeser posisi tempatnya duduk saat kau bilang “gue mesti pulang, lo gapapa sendirian?” entah apa yang menyebabkan sesuatu tidak beres terjadi di hati tempatku merasa, tiba-tiba peparuku sesak dan rasa takut ditinggalkan menyeruak. Boleh aku jawab sejujurnya mau kubekukan waktu biar kau ada didepanku terus duduk menikmati jus jambu yang kau pesan dan menjadi penyebab utama rasa melilit di perutmu. Menyaksikan mu bercerita dan tertawa.

Tapi, waktu tidak pernah berpihak pada salah satu yang merindu. Aku hanya bisa titip air mata (lagi) ketika dirimu harus beranjak pergi. Jaga baik-baik hatimu jangan jatuhkan disembarang tempat, suatu hari nanti aku akan meminta hatimu.

Ngopi dulu, Bekasi

Sabtu, 23 Juni 2012

Sometimes life’s need some privacy teritory

“lo ga pake bb?”

“engga”

“Oh, kalo gw sih life must be so bored gitu deh kalo ga ada bb, ga bisa twitteran, ym-an, pesbukan”

“kalo gw sih uda nyaman pake hp gsm biasa, yg penting bisa sms sama nelpon. Kalo mo onlen, yah di komputer lebih puas krn layarnya gede, gue juga ga perlu-perlu banget onlen internet 24 jam, soalnya gw bukan tipikal orang yg suka eksis eksis banget ngasih tau lewat status gw lagi ngapain aja. Sometimes life’s need some privacy teritory.”

“...”


Pangkala Jati  Jakarta, 2012
Di sebuah tempat hangout yang sedang happening di jakarta
4 manusia di pertengahan 20 orang
2 can’s of beer-air mineral-softdrink-keripik kentang-burger

Senin, 18 Juni 2012

Apa Mencintaimu Harus Serumit Ini?

1 tahun yang lalu...

Mengapa jatuh cinta bisa serumit ini?

Harusnya aku sudah kehabisan alasan untuk menunggu. Tapi masih saja menunggu. Tentang perasaan yang mungkin sebenarnya tidak pernah ada padamu. Tapi masih saja merindu. Mengapa jatuh cinta bisa serumit ini? Tak seharusnya aku mendifinisikan semuanya secepat ini, sendirian, dan salah pula. Harusnya aku lebih peka. Aku tak tahu apa-apa, selain berdebar lalu merindu. Kau tahu aku menyayangimu?

Kita baru saja sampai di ribuan karakter jika cerita ini dituliskan, tapi sudah banyak kenangan yang menumpuk. Kadang cerita diputus ditengah jalan. Walau sebenarnya cerita itu belum mau berakhir. Aku harap ini bukan halaman terakhir tentang aku dan kamu.

Bodoh! Masih bisa-bisa berpikir seperti itu? Aku pura-pura tidak dengar, dia bilang ‘kita harus saling melepaskan’ beberapa menit lalu.
Kau tahu, Aku mencintaimu bahkan sebelum suaramu mendarat di telingaku, sebelum aku tahu warna bola matamu? Apa ada cinta yang lebih rumit dari ini?

Padahal aku masih menyimpan kenangan untuk bertemu denganmu di stasiun kereta, kau menggandeng tanganku di bawah senja menyusuri rel-rel kereta. Duduk di sebuah bangku kayu dan kau membisikkan beberapa bait puisi untuk meyakinkan aku tidak akan ucapkan kata ‘selamat tinggal’ dan sejenisnya setelah ini. Aku membayangkan kita akan lebih lama… lebih lama lagi. Tapi, percuma kalau hanya aku yang berharap. Percuma kalau hanya aku yang membutuhkanmu…

Baru berapa menit saja, aku sudah rindu ‘I love u’ darimu. Aku masih ingin memanggilmu namamu. Aku masih menunggumu memanggilku, mungkin yang tadi pagi yang terakhir. Astaga, baru berapa menit lalu saja!  bagaimana besok? Lusa? Minggu depan? Bagaimana…?

Dan 8 Juni 2011 beberapa menit lalu, 
aku harus menangis (diam-diam) untukmu. 
Pura-pura tidak apa-apa dengan keputusanmu.

Jumat, 15 Juni 2012

Iyakah Aku di Sana?


 

Iyakah aku di sana? Menjadi yang pertama kau ingat saat mata terbuka? Menjadi yang pertama kau bayangkan saat mata terpejam? Atau hanya sebatas namaku yang kau ingat, sedangkan hatimu sedang terjejal tentangnya? Tentang kenangan kalian. Karena bentuk kenangan kita masih rapuh. Sangat rapuh. Serapuh rasa ini, yang bisa menggigil kapan saja.
 
Aku takut kalian akan memutuskan untuk memunguti kenangan yang tercecer di sekitar jalan yang pernah kalian lalui, berdua. Lalu aku diam di sini, mengamati kalian, dari hutan patah hati.
 
Aku takut lalu kalian memutuskan untuk mengulang kenangan. kenangan yang siap menganiaya aku dan rasa. Tapi aku bisa apa?


Dan rindu ditaburi banyak tanda tanya.

Minggu, 10 Juni 2012

Aku, Tidak Seperti Mantanmu

Nita menatap jamnya tangannya berkali-kali. Detak dari jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya sejak tadi terus menerus menemani kesendiriannya. Wajahnya cemas, bibirnya terkunci rapat, jemari tangan kirinya mengisi celah-celah kecil jemari tangan  kanannya. Sesekali ia menyilangkan tangan di dadanya, ia merasa kedinginan. Nita menatap kembali jarum jam, setelah itu ia memperhatikan awan yang semakin gelap dan rintik hujan yang semakin deras, wajahnya cemasnya terlihat jelas.

“Aris belum juga pulang.” Ucapnya perlahan dalam hati.

Disentuhnya plastik berisi dua bungkus nasi goreng yang ia beli disebuah restaurant mungil diujung jalan, sudah dingin, tak lagi hangat seperti awal ditempat kost Aris. Dua jam sudah ia menunggu, sementara Aris tak kunjung pulang. Aris juga tak membalas pesan singkat yang dikirim Nita untuknya. Hujan semakin deras, Nita semakin cemas. Nita tetap saja melihat layar handphonenya, meskipun tak ada satu pesan pun dari Aris.

Terdengar desah suara motor dari luar pagar, seorang turun dari kendaraan itu. Pria itu berlari-lari kecil lalu  membuka pagar, kini pria itu berdiri tepat didepan Nita. Nita tersenyum lega.

“Kamu baru pulang? Sama siapa?  Kehujanan ya?” tanya Nita, masih dibalut wajah cemasnya.

“Kamu ngapain disini sih!” ujar Aris setengah membentak.

“Aku mau bawain kamu nasi goreng. Kemarin, kamu sms aku katanya lagi pengen nasi goreng diujung jalan itu, jadi aku beliin aja. Dimakan ya?” jelas Nita dengan sipu senyum kecil dibibirnya.

Aris mengalihkan pandangannya, ia tak mau menatap Nita “Cewe bego! Pulang lo! Udah malem! Hujan juga kan!” bentak nya dengan nada tinggi.

Nita hanya menatap sosok Aris dengan wajah bingung, bentakan keras Aris membuatnya mundur satu langkah dari posisi ia berdiri diawal.

“Tadi kamu pulang sama siapa?” tanya Nita menahan rasa sedihnya.

“Sama mantanku kenapa? Eh, aku heran deh sama kamu, seneng banget nungguin aku, kayak mantanku dong, orangnya gak suka nunggu, kecuali kalau diminta!” jawab Aris enteng, dengan wajah seakan-akan tidak menyakiti hati Nita.

“Oh..” ungkap Nita menahan amarahnya. “Syukurlah kalo kamu bisa pulang sama dia, jadi kamu juga enggak terlalu kehujanan kan. Ini nasi gorengnya, kamu makan ya. Aku mau pulang dulu.”

“Bawa aja nasi gorengnya, aku tadi udah makan kok sama dia.” Tungkas Aris dengan nada enteng.

“Enggak usah. Buat kamu aja. Aku pulang ya. Nanti langsung mandi, jangan lupa keramas ya habis itu minum teh anget ya supaya kamu enggak kedingingan.” tegas Nita sambil menatap wajah Aris dengan penuh perhatian.
 

Aris tetep buang muka, sesekali Aris menatap Nita. Pandangannya mencuru-curi celah untuk menatap Nita. Tapi tetap saja dari raut wajahterlihat jelas  bahwa Aris tidak peduli dengan Nita. Aris tak peduli dan tak mau tahu rasa khawatir yang Nita simpan dalam-dalam. Padahal rasa khawatir adalah wujud dari rasa cinta dan perhatian. Itulah yang dirasakan Aris. Ia pulang dengan rasa hampa. Ia pulang dengan gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata.

***

Nita terbangun dari tempat duduknya, ia berlari kecil mengejar sosok Aris, “kamu kenapa akhir-akhir ini cuek banget?”

Aris mengarahkan pandangannya pada Nita “Emang kenapa? Kamu kan cuma pacarku, bukan istriku. Aku salah kalau cuekin kamu?”

Nita menghentikan langkahnnya, ia tertunduk setelah mendengar ucapan enteng yang terlontar begitu saja dari bibir Aris, “Kapan kamu menghargai aku sebagai sosok yang penting dalam hidupmu?”

“Kapan? Kenapa bertanya? Bukannya aku selalu menghargai kamu?” tanya Aris dengan nada keheranan.

“Padahal, apa yang tidak kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil dimataku. Aku selalu menghargai kamu, menghormati posisimu, dan masih memperlakuakan mu dengan baik meskipun kadang kau tak menghargai aku.” Jelas Nita dengan matanya yang mulai berair.

“Wanita bodoh! Jangan jadikan air matamu sebagai senjata pemungkasmu! Kamu cengeng, kamu berbeda dengan mantanku. Dia jauh lebih kuat daripada kamu!”

“Ya... aku memang tidak seperti mantanmu. Aku memang tak secantik dan tak setegar dia. Tapi, dia hanya masa lalumu, sedangkan aku adalah masa kini dan mungkin akan kau bawa kemasa depanmu.!” Nita menatap Aris dengan tatapan serius. Tak pernah Aris melihat Nita sekeras dan seberani itu.

“Kamu memang tidak seperti mantanku.” ucap Aris singkat.

“Aku memang tidak seperti mantanmu. Aku adalah aku, yang akan luar biasa dengan jalan dan pilihanku sendiri. Kenyataannya memang kamu tidak bisa melupakan mantanmu dan masa lalumu.” ujar Nita memincingkan mata, tatapannya tajam menatap Aris.

“Bukan urusanmu!”

“Dan, aku sangat kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu jatuh cinta kepadaku damn melupakan mantanmu?”

Aris tak tega menatap Nita, naluri lelakinya keluar, selalu tak tega menatap wanita yang sedang menangis, “Sudahlah..." ucap Aris perlahan. “Jangan menangis.”

“Kita akhiri saja semua kalo memang kamu masih berhenti pada masa lalumu. Kita akhiri saja semua memang kau lebih merindukan masa lalumu. Kita cukupkan sampai disini, kalau masa lalumu lebih mampu untuk membahagiakanmu.”

“Maksudku, bukan seperti itu, Sayang.” Dengan nada sok manja, Aris menarik lengan Nita. “Maaf ya?”

“Percuma ada kata  maaf jika kau tak mau berubah. Percuma ada kata maaf jika kau terus mengulang kesalahan yang sama. Kembalilah pada masa lalumu, aku juga tak membutuhkan orang sepertimu dimasa depanku!”  cetus Nita, menghempaskan lengan Aris dari lengannya.

***

Jam waker melakukan tugasnya dengan baik, celotehnya yang berisik membangunkan Aris yang masih saja terantuk diujung kantuk. Dimatikannya, jam waker itu, ditariknya lagi selimut yang sejak tadi malam menghangatkan tubuhnya. Matanya menatap jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Gerakan reflek, ia menatap handphone, tak ada pesan singkat dari Nita. Tak ada ketukan pintu dari luar. Tak ada lagi wanita yang menyiapkan bubur ayam sebagai sarapan dipagi harinya. Tak ada lagi sosok wanita yang menyiapkan teh hangat didekat tempat tidurnya.
 
Aris menghela nafas. Ia menarik selimut menghangatkan dadanya. Tubuhnya masih mengigil, demamnya tak juga turun. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari tadi malam, hingga dinginnya masih menusuk tulang. Hanya ada detak jam dinding yang menemaninya perlahan kala itu.

Selasa, 05 Juni 2012

Bagai Mawar Di Belah Edelweiss


Jika Einstein berambut hitam panjang
Rumus itu tetap ada
Tak sesulit merubah kenyataan
Tak seperti membacamu

Senin jam satu siang. Dengan sudut tiga puluh lima derajat. Dengan duduk di barisan ketiga dan kamu selalu di deretan yang sama dengan ku. Di bangku yang sama. Kamu selalu duduk di situ. Dan aku di sini. Selalu menatapmu. Sambil sesekali melihat kearah penjaga karena tempat kalian menetap selalu terdepan.

Soal kali ini sulit. Aku tahu. Lihat saja papan tulis putih – yang lebih kearah krem muda- yang selalu penuh dengan lambang integral itu. Yah, aku tahu. Lambang integral tak pernah absen di sana. Sama seperti lambang alpha, omega, dan lambang Fisika lainnya. Dan entah mengapa Sang guru selalu menuliskan lambang itu di sana. Tak pernah bosan. Mereka lebih mirip pelukis dengan gaya abstrak dibandingkan dengan guru fisika.

Aku tak begitu peduli dengan apa yang mereka tuliskan di sana. Mereka selalu membicarakan hal yang abstrak. Dan dunia ini terlalu sungkan untuk menerima hal abstrak. Sama seperti perasaan ini. Terlalu abstrak hingga tak bisa di ungkapkan. Jarak satu bangku ini lebih cenderung kearah paradoks. Dan aku adalah pertentangan dari paradoks.

Yang aku pedulikan sekarang bukan integral itu, bukan pula penjaga itu, dan tentu saja bukan jarak-satu-bangku itu. Masalah ini abstrak, kawan. Yang kulihat dari kacamata ku ini hanyalah dirimu. Lebih jelasnya punggungmu yang selalu bisu. Dirimu yang selalu melihat kearah papan tulis abstrak itu. Kemudian melihat secercah kertas yang merupakan kloning nyata dari lukisan di papan tulis itu. Kau goreskan hi-tech hitam-mu ke arah binder itu dengan rupawan. Menarikan jari jari kecilmu dengan gemulai.

Aku tak begitu tahu apa yang kau pikirkan. Tapi dengan sorot matamu yang penuh perlindungan itu menyiratkan bahwa kamu mengerti apa yang dimaksud dengan lukisan abstrak di depan. Seakan-akan kau adalah Picasso yang mencoba melukis gambar pemandangan. Tak begitu sulit.

Andaikan lukisan abstrak itu bisa lebih rapi. Andaikan jarak satu bangku ini bisa dilenyapkan melalui black hole. Andaikan sorot matamu itu bisa kubaca. Aku tak butuh lagi kacamata ini.

Kau tampilkan senyum sama kepada tiap orang
Kau tebar benih dengan itu
Walau tak sama
Di hatiku tumbuh mawar

Senin jam dua belas lewat empat puluh lima menit. Kali ini aku tidak sedang duduk di bangku-baris-ketiga itu. Papan tulis juga masih putih. Sang pelukis abstrak belum memulai khutbahnya. Kamu? Kamu bahkan belum datang.

Maka disinilah aku berdiri dipagar pembatas yang berada di tingkat kedua dari gedung ini. Di depan pintu kelas kita. Kelas dimana aku selalu melihatmu dari sudut tiga puluh lima derajat.

Senin adalah hari tersibuk di sekolah ini, lihat saja parkiran di ujung sana. Tak seramai hari biasanya. Ratusan sepeda motor berbaris rapi sepanjang parkiran. Membentuk garis lurus sepanjang mata memandang.

Sama halnya dengan parkiran. Koridor-koridor sepanjang lorong juga ramai. Banyak para siswa datang bergerombol. Kemudian berjalan beriringan sampai ke kelas. Ada juga yang berbaris dengan rapi karena koridor ini sempit. Tak banyak ruang yang tersisa ketika gerombolan siswa lain sedang mengobrol di koridor ini.

Dari celah yang disisakan dari gerombolan itu, aku menangkap dirimu yang sedang berjalan tergesa-gesa melewati mereka. Langkahmu begitu yakin, tak tergesa-gesa. Tak lupa goresan yang kau lukiskan melalui bibirmu itu. Lukisan berupa senyum.

Yah, kau selalu tersenyum kepada tiap orang yang kau kenal. Tak peduli apakah suasana hatimu sedang bimbang, galau, ataupun sedih. Goresan itu yang selalu menghiasi kanvas wajahmu. Tak heran, banyak orang yang selalu mengartikan senyum-mu dengan makna yang berbeda.

Di sinilah aku, berdiri di hadapanmu. Dan seperti yang sudah kutuliskan di paragraph sebelumnya. Dan inilah hal paling madu yang aku tuliskan.

Kau tersenyum ke arahku.

Senyum paling indah yang pernah kulihat. Senyum yang bisa membuatku tidak konsen dengan lukisan abstrak ala integral. Senyum yang bisa membuat jarak-satu-bangku menjadi paradoks. Senyum yang membuat perasaan ini semakin abstrak

Senyum Mawar itu.

Kau tahu apa yang lebih kecil dari limit mendekati nol?
Pembicaraan kita

“hey,kamu udah belum?”

Senin jam dua belas lewat lima puluh menit. Kau mengatakan sesuatu padaku. Tak lupa senyum manis madu itu tertera di wajahmu.

Aku hanya bisa terpaku saat ini. Aku merasakan kata-katamu bagaikan dilatasi waktu menuju ruang tak terhingga. Membawaku pergi jauh jutaan tahun cahaya. Dan saat aku kembali ke bumi. Aku masih terbeku dalam usia enam belas tahun. Berdiri di lantai dua koridor. Memandangmu.

Dan aku hanya bisa menggeleng.

Lebih tepatnya, menggeleng dungu.

Kau pun tertawa melihat diriku yang tak ubah bagaikan hiasan anjing pada dashboard mobil. Selalu menggeleng.

Hitunganku tak pernah meleset. Dan ini adalah percakapan kedua kita. Di tempat yang sama. Dengan kata-kata yang sama. Dan tentu saja. Jawaban-menggeleng-ku yang sama.

Kini penjaga itu datang. Aku pun masuk ke kelas itu. Kelas tiga-puluh-lima derajat.

Ku kira ini mawar
Tidak!
Salah!
Ini adalah edelweiss

Untuk Peserta No Ujian 
2A00085